Fiksiku


Cerpen (Dimuat di majalah SEKAR edisi nomor 44 tgl. 17 Nov. 2010)

Koleksi
Oleh : Pirngadi

            Tidak seperti biasanya, sepulang dari sekolah wajah Putri tampak murung. Ketika kutanya apakah Putri sakit, anak bungsuku itu menggeleng.  Setelah kudesak akhirnya Putri mengaku. Putri dituduh temannya mengambil pensil mekanik. Dengan agak emosional, Putri membantah tuduhan itu.
            “Benar, Ma!” tandas Putri meyakinkan diriku. “Putri tidak mencuri pensil Salma. Pensil itu Putri temukan di kolong meja. Sebelum Putri kembalikan kepada Salma, ia telah menuduh Putri yang mengambilnya dari tas.”
            Emosi dan kemurungan wajah Putri berangsur surut setelah kunasihati sembari tak hanti-hentinya menebar senyum. Kukatakan bahwa aku lebih mempercayai Putri daripada teman sekelasnya. Aku bahkan sedikit banyak menyalahkan anak yang bernama Salma itu karena tidak berterima kasih pensilnya ditemukan Putri. Anak seperti itu, tambahku menghibur Putri, nilainya sangat rendah untuk mata pelajaran budi pekerti.
            Sikap Putri kembali seperti biasa, lincah dan ceria. Meskipun masih ada rasa dongkol karena gadis kecilku dituduh mencuri, namun aku turut gembira melihat Putri sudah melupakannya. Menurut pendapatku, itu artinya Putri tidak memiliki sifat pendendam. Hal-hal kecil seperti itu menambah rasa banggaku mempunyai anak seperti Putri. Ah, Putri memang berbeda dibandingkan kedua kakaknya. Putri lebih agresif, cerdas, memiliki bakat seni, dan gampang melupakan hal-hal yang membuatnya sedih.
            Karena Putri, aku dan suamiku merasa seperti menjadi orang tua paling berbahagia di dunia. Perasaan seperti itu kurasakan saat mendampingi Putri memenangi lomba melukis, menyanyi, atau mendongeng. Meskipun prestasi-prestasi seperti itu masih di tingkat lokal, namun aku menganggapnya cukup luar biasa. Tidak salah jika anak perempuanku satu-satunya itu kuberi nama Nugrahini Megaputri yang artinya kurang lebih anak perempuan yang memberi anugerah.
            Selain berprestasi di bidang seni, Putri juga dianugerahi otak yang lumayan encer. Sejak duduk di kelas dua sekolah dasar, nilai rapor Putri tidak pernah bergeser dari peringkat dua terbaik di kelas. Bahkan saat naik kelas lima kemarin, Putri berhasil menduduki peringkat pertama. Aku pun memanjakan Putri dengan menambah uang sakunya setiap hari hampir dua kali lipat dari jumlah semula.
            Berbeda dengan kedua kakaknya, Ale dan Jay, Putri menyukai segala sesuatu yang rapi dan teratur. Kamar Putri misalnya, selalu bersih dan rapi. Semua benda di kamar Putri seperti diletakkan pada tempat yang seharusnya diletakkan. Jika ada satu benda yang berpindah tempat di luar sepengetahuannya, Putri pasti tahu dan biasanya marah-marah. Kejadian seperti itu biasanya dilakukan oleh kakak-kakaknya.
            Melihat benda-benda yang berada di kamar Putri, kadang-kadang ada sesuatu yang menggelitik batinku. Dari mana Putri memperoleh berbagai benda itu sedangkan rasa-rasanya aku tidak pernah membelikannya? Dua boneka Barbie misalnya, sebuah pun aku belum pernah membelikannya. Juga beberapa buah kaset lagu anak-anak, bingkai foto unik, kalkulator, buku-buku cerita, puluhan bolpoin dan pensil, bahkan patung-patung keramik kecil yang biasanya sebagai souvenir perkawinan. Anehnya lagi, sebagian besar benda-benda itu sudah diberi nama dengan tulisan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Uniknya, dan ini yang membuatku sedikit heran, Putri tidak pernah menggunakannya. Benda-benda itu hanya diletakkan seolah cuma menjadi pajangan dalam lemari kaca. Dari hari ke hari ‘koleksi’ Putri itu semakin bertambah.
            Seperti mengetahui apa yang ada dalam benakku, tidak jarang Putri bercerita bila mendapatkan benda ‘koleksi’ yang baru. Setiap kali menceritakannya, asal muasal benda-benda itu nyaris seragam. Putri biasanya mengatakan bahwa benda-benda itu diperolehnya atas pemberian teman atau ia menemukannya di suatu tempat. Putri sering menjelaskan secara detail dan rasional sehingga aku melihat tidak ada sedikit pun alasan untuk berpikir yang bukan-bukan. Apalagi menurut penilaianku, Putri mempunyai sifat supel dalam pergaulannya sehingga gadis kecilku itu memiliki banyak teman dan kenalan.
            Berprasangka buruk terhadap Putri kuanggap tidak berdasar dan sangat keterlaluan. Jika ada yang melakukannya, aku pasti tersinggung dan marah. Untuk masalah yang kuanggap sangat urgen ini, aku pernah berurusan dengan dua orang bocah teman sekelas Putri untuk sekadar memberi klarifikasi.
            Dua bocah itu, Sentot dan Edi, selalu berteriak-teriak setiap kali lewat di depan rumah. Semula aku tidak menghiraukannya, namun setelah berlangsung berhari-hari lamanya, aku akhirnya tidak bisa tinggal diam. Teriakan mereka sungguh membuat telingaku terasa panas. Bagaimana tidak, mereka berteriak, “Pencuri cilik, pencuri cilik!” Teriakan itu sepertinya ditujukan kepada Putri. Aku pun penasaran dan harus kuakui emosiku menggelegak setiap kali mendengar teriakan mereka.
            “Hari Senin yang lalu, Melodi membawa buku cerita baru. Putri kepingin membaca dan meminjamnya. Saat Melodi tidak berada di tempat karena jam istirahat dan kelas dalam keadaan kosong, Putri mengambil  buku cerita itu dari dalam tas Melodi. Maksud Putri, Putri akan bilang setelah Melodi masuk kelas kembali. Rupanya, Sentot dan Edi mengetahuinya dan menuduh Putri hendak mencuri buku cerita itu. Sungguh Ma, Putri hanya mau meminjam saja!” papar Putri ketika kutanya mengapa kedua teman sekelasnya itu berteriak-teriak setiap kali lewat di depan rumah.
            Mendengar pengakuan Putri yang kunilai telah berkata dengan jujur dan melihat sikapnya yang mengingatkanku akan seorang pesakitan saat diinterogasi polisi, aku pun menyesal menanyakan hal itu kepada Putri. Meskipun tindakan Putri mengambil sesuatu di luar sepengetahuan pemiliknya kuanggap sebagai perbuatan tidak baik, namun tuduhan yang dilontarkan Sentot dan Edi kunilai sangat berlebihan. Tuduhan seperti itu tidak hanya memojokkan Putri, tapi juga merusak nama baiknya. Itulah sebabnya aku terpaksa bertindak dengan mengabaikan nasihat suamiku untuk tidak terlalu memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan anak-anak.
            “Sudahlah, Ma, jangan terlalu diambil hati. Mereka itu kan anak-anak, sudah biasa saling meledek. Sebentar lagi mereka juga baik kembali,” kata suamiku memberi nasihat agar aku mengurungkan niatku.
            “Tidak bisa, Pa!” bantahku tegas. “Ulah mereka sudah keterlaluan. Bagaimana kalau semua murid di sekolah Putri tahu dan ikut-ikutan menuduh Putri seperti itu? Tidak Pa, Mama harus melakukan sesuatu!”
            “Ya sudah, terserah Mama. Tapi jangan sampai melakukan kekerasan fisik,” kata suamiku seolah mengingatkanku.
            Keesokan harinya Sentot dan Edi kucegat di depan rumah. Ketika akan berangkat ke sekolah, mereka kupaksa mampir dan kuinterogasi di teras rumah. Kujelaskan kepada mereka tentang duduk persoalan buku cerita Melodi sambil memasang wajah galak dan sedikit mengancam. Nyali kedua bocah itu langsung menciut dan berjanji tidak akan meneriaki Putri lagi. Mereka akhirnya kulepas setelah aku puas ‘mencucinya’. Mereka keluar dari halaman rumahku dengan wajah ketakutan.
            Sejak itu aku tidak pernah lagi diganggu oleh teriakan-teriakan yang memerahkan cuping telingaku. Sentot  dan Edi bahkan tidak pernah lewat di depan rumah lagi. Mungkin kedua bocah itu takut kepadaku dan memilih jalan memutar jika hendak berangkat dan pulang sekolah.
            Kasus Sentot dan Edi akhirnya terlupakan karena kesibukanku yang lain dan mengurus rumah tangga. Bulan-bulan terakhir aku memang sering pusing tujuh keliling, terutama dalam mengatur keuangan keluarga. Bagaimana tidak? Penghasilan suamiku sebagai seorang guru sebuah SMP swasta tidak bertambah sementara dari hari ke hari harga-harga terus beranjak naik. Aku harus ekstra hati-hati dan superhemat untuk mengatur anggaran belanja rumah tangga. Meskipun berbagai pos pengeluaran sudah mengalami pemangkasan, namun kadang-kadang aku masih mengalami kesulitan mengatur keuangan.
            Karena terdesak kebutuhan, hari itu aku terpaksa menjual gelang satu-satunya kepunyaanku dengan persetujuan suami. Sengaja kuajak Putri karena aku berniat belanja di pasar swalayan setelah menjual gelang.
            Siang itu suasana toko emas yang kutuju lumayan ramai. Seorang gadis yang kukira anak si pemilik toko emas melayaniku dengan sedikit kerepotan karena harus melayani pula sepasang suami-istri di sampingku. Suami-istri itu tampaknya ingin membeli liontin. Mereka seperti kebingungan oleh berbagai model dan ukuran liontin yang dipajang dalam kotak kaca. Secara berganti-ganti mereka minta diambilkan liontin yang dikehendakinya. Beberapa kali pasangan suami-istri itu meminta pendapatku tentang liontin yang ditaksirnya. Aku pun menanggapinya dan turut memegang-megang beberapa liontin sambil sedikit memberi penilaian. Saat itu aku sempat memperingatkan Putri karena ia ikut-ikutan memegang liontin.
            Lebih dari lima belas menit aku baru keluar dari toko emas. Kutinggalkan pasangan suami-istri yang belum juga berhasil memilih liontin itu. Aku dan Putri bergegas ke pasar swalayan.
            Selama di pasar swalayan aku melihat ada sesuatu yang terjadi pada diri Putri. Anak bungsuku itu tampak gelisah dan sesekali tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya terhadap seseorang yang secara tidak sengaja memandanginya. Putri bahkan sempat memegangi ujung baju yang kukenakan saat seorang satpam pasar swalayan secara kebetulan lewat di dekat Putri. Ketika kutanya, Putri mengatakan tidak ada apa-apa sehingga aku pun berusaha tidak memedulikannya.
            “Ma, kita langsung pulang kan, Ma?” tanya Putri ketika aku membayar belanjaanku di kasir. Aku melihat Putri tampak gelisah.
            “Ya, Mama sudah cukup belanjanya. Kita langsung pulang. Kamu kenapa, Putri? Kamu sakit? Kamu tampak pucat!” jawabku khawatir. Kupegang kening Putri dan aku tidak menemukan adanya gejala sakit pada diri putriku itu.
            “Putri tidak apa-apa, Ma, cuma sedikit capai dan kepingin cepat pulang,” kata Putri yang membuatku sedikit lega. Meskipun Putri belum pernah bersikap seperti itu saat kuajak belanja, namun aku tidak mau terlalu mengkhawatirkannya.
            Beberapa hari kemudian semua baru terungkap. Pagi itu, iseng saja aku hendak membaca salah satu buku cerita koleksi Putri. Ketika sebuah buku kucabut dari deretannya, tiba-tiba aku melihat ada sebuah benda yang terselip dari celah buku yang telah kuambil. Aku terkejut seperti terkena aliran listrik ribuan watt setelah memperhatikan secara lebih teliti benda yang diselipkan di belakang deretan buku-buku itu. Sebuah liontin! Dan aku dapat memastikan, liontin itu adalah salah satu dari liontin yang beberapa hari lalu kulihat di toko emas tempat aku menjual gelang.
            Saat itu kesadaranku seperti baru tercuci. Jadi, benarkah tuduhan-tuduhan yang ditujukan  kepada Putri selama ini? Benarkah semua benda ‘koleksi’ Putri itu hasil dari ‘kerajinan tangannya’? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak saja membuat seluruh tubuhku bergetar, tapi juga merumukkan isi rongga dadaku.



Cerpen Anak (Dimuat di harian Kompas, Minggu 28 Maret 2004 halaman 32)
Manusia Bertanduk
Oleh: Pirngadi

            Dengan hati berdebar Doni meraba kepalanya. Belum yakin juga, Doni bergegas menuju cermin yang tergantung di dinding kamar. Dilihat dan sekali lagi diraba kepalanya di depan cermin. Utuh, tidak ada tanda-tanda aneh di sana. Doni menghela napas lega.
            Akhir-akhir ini Doni memang mempunyai kebiasaan aneh. Doni selalu meraba bagian atas kepalanya dan berusaha meyakinkan diri bahwa tidak ada sesuatu yang mulai tumbuh di sana. Bahkan setiap saat Doni ingat, buru-buru dirabanya bagian atas kepalanya. Tidak peduli sedang makan, nonton televisi, membaca, atau bermain, kebiasaan baru itu selalu dilakukannya. Tentu saja dengan hati berdebar, khawatir, dan takut.
            Beberapa kali Ibu memergoki Doni berbuat aneh seperti itu. Ibu juga melihat ada sesuatu yang berubah pada diri Doni. Anak itu lebih pendiam dibandingkan biasanya. Doni juga lebih gampang terkejut, sering bengong, dan kadang-kadang tidak bisa menyembunyikan kecemasannya tanpa sebab yang jelas.
            “Kamu kenapa sih, Don? Ibu lihat akhir-akhir ini sikapmu lain dari biasanya,” kata Ibu setelah makan malam. Selain khawatir, Ibu juga risih melihatnya.
            “Tidak apa-apa, Bu,” jawab Doni berbohong. Takut-takut Doni segera menyambung, “Bu, benarkah kutukan seseorang masih berlaku pada zaman sekarang?”
            Sekilas Ibu memandang Doni setengah geli. Melihat wajah Doni yang serius, Ibu cepat berkata, “Kutukan itu hanya ada dalam dongeng-dongeng, Doni. Lagi pula kenapa kamu tanya soal kutukan dengan serius seperti itu?”
            Doni nyengir dan bergegas masuk kamar. Doni berniat belajar. Tapi sungguh, Doni tidak dapat berkonsentrasi belajar. Doni segera menutup buku pelajaran dan membaca buku kumpulan dongeng. Dibacanya dongeng-dongeng yang berisi tentang kutukan seperti dongeng Malin Kundang, Tangkuban Perahu, dan Rara Jonggrang.
            Doni semakin cemas setelah membaca dongeng-dongeng itu. Doni semakin yakin jika kutukan itu benar-benar ada. Semua pelaku dalam dongeng itu berubah menjadi batu atau sengsara hidupnya karena kutukan. Seraut wajah lelaki tua di kebun rambutan membayang jelas di pelupuk mata Doni. Doni masih ingat benar apa yang diucapkan kakek itu. Bulu kuduk Doni meremang dan ia segera meloncat di atas ranjang. Diselimutinya seluruh tubuh, berusaha untuk tidur.
            Doni tidur dengan gelisah. Tengah malam, Doni seperti merasakan ada sesuatu yang aneh, di kepalanya! Berlahan-lahan muncul sepasang tanduk di kepalanya! Kutukan itu benar-benar terbukti. Doni menjadi manusia bertanduk. Doni pun takut melihat dirinya sendiri. Doni berteriak keras-keras.
            “Doni, Doni!” panggil Ibu membangunkan Doni setelah mendengar teriakan anak bungsunya itu.
            Doni gelagapan bangun tidur dan buru-buru meraba-raba kepalanya. Wajah Doni pucat pasi, tubuhnya basah mandi keringat. Sesaat kemudian baru disadari Ibu dan Ayah sudah berada di kamarnya.
            “Kamu bermimpi, Don. Sebelum tidur, kamu lupa berdoa, ya?” tanya Ibu sambil mengusap keringat di kening Doni.
            “Bu, benarkah kutukan itu akan menimpa saya?” Doni balik bertanya kepada Ibu.
            “Kamu ini kenapa sih, Don? Dari kemarin kamu ngomong soal kutukan. Ibu jadi bingung!” kata Ibu seraya memandang Ayah dengan wajah bingung.
            Ayah segera duduk di sisi Doni. Dibelainya kepala Doni sambil berkata, “Ayolah bicara teras terang! Ada apa sebenarnya?”
            Dengan suara bergetar Doni akhirnya bercerita. Beberapa hari yang lalu, sepulang bermain, Doni mengambil jalan pintas agar segera sampai di rumah. Doni melewati jalan setapak yang membelah kebun Kakek Aspar. Saat itu pukul lima sore dan suasana di tengah kebun rambutan itu mulai gelap. Karena dorongan rasa haus, Doni memanjat dan memetik beberapa buah rambutan yang memang sedang lebat berbuah.
            Setelah puas menikmati belasan buah rambutan, Doni bergegas hendak pulang. Belum jauh dari kulit-kulit buah rambutan yang ditinggalkan, langkah kaki Doni terhenti karena sesosok tubuh telah menghadangnya. Laki-laki tua yang menghentikan langkah Doni itu adalah Kakek Aspar, pemilik kebun rambutan.
            Doni tetap mengelak ketika Kakek Aspar memaksanya untuk mengaku bahwa Doni telah mencuri buah rambutannya. Karena Doni bersikeras tidak mengakui perbuatannya, Kakek Aspar pun mengeluarkan ancamannya.
            “Kalau kamu mencuri rambutanku tapi tidak mau mengakuinya, jangan salahkan aku jika di kepalamu akan tumbuh sepasang tanduk!” kata Doni menirukan ‘kutukan’ Kakek Aspar.
            Ayah mengangguk-anggukkan kepala mendengar cerita Doni. Sambil merangkul pundak anaknya, Ayah berkata, “Percayalah Doni, kutukan itu tidak ada. Kakek Aspar jengkel karena kamu tidak mengakui perbuatanmu.”
            “Sekarang masih pukul satu dini hari,” kata Ibu dengan suara lembut. “Sebaiknya kamu tidur lagi. Kapan-kapan mintalah maaf kepada Kakek Aspar. Berjanjilah untuk tidak mengulangi perbuatan buruk itu.”
            Doni mengangguk. Doni berjanji akan menemui Kakek Aspar secepatnya. Untuk mengakui perbuatannya, untuk meminta maaf, untuk membatalkan ‘kutukannya’. Doni pun segera merebahkan diri, sambil memegangi bagian atas kepalanya.

Pulang
Oleh: Pirngadi 
(Republika, 20 November 2011)
PEDIH, melihat wanita yang sangat dicintainya terbujur kaku tak bernyawa. Pilu, menyaksikan perut sang jenazah yang mulai kelihatan membuncit karena hamil. Lebih mengiris hati, menyadari kenyataan calon jabang bayi di perut itu bukan dari benihnya. Luka hati yang sangat perih dan kobaran amarah di tempurung kepala Maman membuat laki-laki itu terpaku seperti patung batu. Orang-orang terus mengalir berdatangan mengungkapkan dukacita, menyampaikan penghiburan, atau sekadar hadir melihat. Rumah yang belum sepenuhnya jadi karena dindingnya masih belum diplester semen itu pun ramai dalam kedukaan.
Mata Maman kosong menatap jenazah istrinya, membawa mundur kisah yang berakhir tragis ini. Maman masih ingat benar siang pada akhir November empat tahun lalu. Saat di mana ia pulang dari tempatnya bekerja dengan tubuh lemas tak berdaya. Perusahaan tempat Maman bekerja bangkrut dan ia kena PHK. Bersama rasa panik yang menggayut di benaknya, Maman pontang-panting menghidupi istri dan seorang anaknya yang masih berumur dua tahun. Tiga bulan nihil tidak dapat pekerjaan, sementara uang pesangon nyaris tak bersisa, Maman akhirnya menyerah. Atas desakan Asih, istrinya, Maman angkat kaki dari Jakarta, pulang kampung ke rumah mertuanya.
Pulang kampung dengan embel-embel karena gagal di rantau membuat Maman seperti ditelanjangi di tempat ramai. Rasa malu itu semakin sempurna setelah berbulan-bulan kemudian Maman belum mendapatkan pekerjaan tetap. Ijazahnya yang hanya setingkat sekolah lanjutan pertama serta pengalaman kerjanya sebagai office boy sama sekali tidak memberi pengaruh mendapatkan pekerjaan.
Sambil terus berusaha, Maman mencoba bersabar tinggal menumpang di rumah mertuanya yang juga dihuni keluarga kakak iparnya. Kadang-kadang, dari tatap matanya menyiratkan ketidaksukaan atau mungkin penghinaan. Maman memang tidak punya pilihan. Kedua orang tuanya di ujung timur Pulau Jawa sudah lama meninggal dunia. Tanah sepetak tempat sebuah rumah reyot yang merupakan satu-satunya harta peninggalan orang tuanya kini dihuni oleh keluarga adik semata wayangnya dengan kondisi ekonomi tak lebih baik.
Malam itu menjadi malam yang paling panjang yang tidak mungkin Maman lupakan. Dalam gelap, dada Maman basah oleh air mata Asih. “Bukan aku tak menghargai kamu, tapi sampai saat ini, kamu belum dapat kerja dengan penghasilan tetap. Kalau aku dan kamu mungkin bisa menahan rasa lapar atau keinginan akan sesuatu, tapi tidak untuk anak kita. Aku paling tidak tahan ketika ia menginginkan seperti yang dimakan atau dimiliki kakak-kakak sepupunya. Sebagai ibunya, hatiku seperti diiris-iris karena tidak dapat membelikannya, bahkan untuk sesuatu yang harganya tidak mahal karena kita sama sekali tak punya uang. Aku hanya ingin kita bisa keluar dari situasi sulit ini selagi kamu belum mendapatkan jalan. Kalau kamu memberi izin, aku berniat berangkat ke Timur Tengah….” isak Asih.
Tidak ada kata dalam kalimat Asih yang mampu membangkitkan kemarahan. Tapi entahlah, Maman merasa ulu hatinya ngilu seperti tertembus ribuan jarum. Asih sama sekali tidak menyalahkan Maman. Bahkan, Asih minta izin seandainya Maman memberikannya. Pada saat matanya berkaca-kaca, Maman hanya mampu membatin, Ya Allah, terima kasih telah memberiku seorang istri sebaik ini….
Malam itu Maman memang tidak memberi jawaban secara lisan, namun dari pelukan yang dipereratnya, Asih tahu suaminya memberinya izin meskipun dengan berat hati. Rencana berangkat ke Arab Saudi itu pun tidak dengan mudah terlaksana. Maman dan Asih harus pontang-panting mencari pinjaman.
Ketidakberdayaan atau lebih tepatnya kemiskinan, sering membawa orang untuk mengambil keputusan dan mengawali sesuatu dengan linangan air mata. Itu pula yang terjadi pada Maman dan Asih. Asih berangkat dengan berurai air mata. Maman melepas kepergian istrinya dengan isi dada berkeping-keping. Ditinggal pergi istrinya sejauh itu tidak pernah terbayangkan oleh Maman. Kemiskinan telah membuat orang yang semestinya ia nafkahi dan lindungi harus membanting tulang di negeri seberang yang kadang-kadang dengan taruhan kehormatan atau bahkan nyawa.
Menjadi orang tua tunggal dan tinggal menumpang di rumah mertua benar-benar menguji kesabaran Maman. Apalagi, pada minggu-minggu awal kepergian Asih, Dini sering rewel ingat ibunya. Sebisa mungkin Maman merawat dan menghidupi Dini. Menjadi kuli panggul di pasar, menjadi kenek tukang batu, hingga tukang gali kuburan Maman lakoni demi mengisi perut agar tidak kelaparan.
Memasuki bulan keenam sepucuk surat dari Asih diterima Maman. Isinya singkat, namun cukup banyak menghalau kekhawatiran Maman. Asih bekerja pada sebuah keluarga di Madinah. Selain memasak, membersihkan rumah, mencuci, dan menyetrika, tugas Asih juga merawat orang tua si empunya rumah yang sudah jompo. Pekerjaan yang terakhir ini yang ditulis Asih paling berat karena berlangsung selama 24 jam.
Dua bulan kemudian, surat kedua datang. Kali ini diikuti kiriman sejumlah uang. Setelah digunakan untuk membayar utang-utangnya, Maman membeli sepeda motor bekas untuk mengojek. Sejak menjadi tukang ojek di pasar, Maman memiliki penghasilan tetap. Maman memang tidak ingin berpangku tangan menikmati uang kiriman istrinya dari Arab. Untuk keperluan sehari-hari, Maman dan anaknya sudah bisa dicukupi dari hasil mengojek.
Kiriman uang yang boleh dikatakan rutin dari Arab serta didukung sikap hemat Maman, pada tahun kedua, berhasil membeli sepetak tanah tidak jauh dari rumah mertuanya. Maman juga sudah memiliki handphone sehingga Asih kadang-kadang menelepon langsung dari Arab. Setahun kemudian, sebuah rumah berhasil Maman bangun meskipun belum selesai benar. Beberapa bulan setelah menempati rumah baru, suatu malam, Asih menelepon dan mengabarkan majikan jompo yang selama ini ia rawat telah meninggal dunia. Asih juga menjelaskan kemungkinan besar ia berganti majikan.
Sejak malam itu, komunikasi terputus. Tiga bulan kemudian, Asih kembali menelepon dan mengatakan ia sekarang bekerja pada sebuah keluarga polisi. Komunikasi kembali terputus, bahkan kiriman uang pun berhenti. Maman kembali khawatir. Hampir setahun Maman kehilangan jejak Asih hingga dua minggu lalu, handphone-nya kembali berbunyi oleh nomor yang tidak dikenal. Ternyata suara Asih. Tak seperti biasanya, kali ini suara Asih tertahan-tahan kebingungan. Meskipun Asih mengatakan bahwa lusa akan pulang, kelegaan Maman berubah menjadi rasa takut.
Ketidakjelasan pesawat yang ditumpangi Asih membuat Maman, Dini, kedua mertua, serta kakak iparnya keleleran di bandara. Dengan mobil sewaan, mereka sebenarnya sudah kuyu menempuh perjalanan semalaman. Setelah dari pagi menunggu, baru sekitar pukul delapan malam, Maman melihat Asih. Namun, tidak serta-merta Maman bisa menemui istrinya.
Asih memeluk Maman dalam tangis yang sulit dipahami. Gembira, sedih, atau takut. Sekilas Maman melihat tubuh istrinya sedikit lebih gemuk dan…. Ah, Maman berusaha membuang jauh-jauh prasangka buruknya. Sepanjang perjalanan pulang, seisi mobil itu pun lebih banyak diam. Kegembiraan sebuah pertemuan setelah sekian tahun tidak bertemu tiba-tiba menguap entah ke mana. Malam itu malam kedua setibanya Asih di rumah. Saat itu, Dini sudah terlelap. Asih menangis dan berlutut mencium kaki suaminya. Dengan suara bergetar Maman berkata, “Kamu hamil?”
“Mengapa kamu tidak marah? Mengapa kamu tidak memaki-maki aku? Mengapa kamu tidak memukuli aku? Aku istri yang bejat! Kamu seharusnya menghajarku hingga babak belur! Kalau perlu, injak-injak saja perutku ini hingga keluar semua kebusukan dan aib dari dalamnya. Seharusnya aku tidak takut ketika dia mengancamku dengan pisau. Seharusnya aku atau dia yang mati….” rintih Asih dengan tubuh berguncang-guncang.
Asih menunggu makian, pukulan, atau tendangan suaminya, namun apa yang diharapkannya itu tidak kunjung tiba. Asih justru mendapati suaminya itu berjongkok dan mengangkatnya berdiri.
“Istighfar….” bisik Maman dengan suara tercekat. Laki-laki itu kemudian bergegas membuka pintu dan duduk tepekur di teras rumah hingga Subuh menjelang.
Setelah shalat Subuh, seperti biasanya Maman berangkat mengojek. Dua hari Maman tidak berangkat bekerja karena kedatangan Asih. Maman tidak berpamitan kepada Asih karena ia tidak tega membangunkan istrinya yang masih terlelap memeluk Dini. Mungkin Asih semalaman juga susah tidur atau bahkan kecapaian menangis.
Sekitar pukul 10 pagi, Maman menerima SMS dari Asih. Asih menulis, Maafkan ak tlh lakukn jln spt ni. Kmu trlalu baik ntuk trm smua aib ni. Aq titip Dini ya. Tanpa berpikir panjang lagi, Maman bergegas pulang. Seorang ibu yang akan diantarkan pulang dari pasar ditinggalkannya begitu saja. Ada perasaan tidak enak yang tiba-tiba membuat Maman seperti mendapat firasat buruk.
Tiba di rumah, Maman mendapati semua pintu dan jendela terkunci. Maman sebenarnya sudah bisa membuka kunci pintu dengan anak kunci yang dibawanya, namun daun pintu tidak bisa terkuak karena sepertinya diselot dari dalam. Maman menggedor-gedor pintu sambil memanggil-manggil istrinya. Seorang tetangga keluar rumah mendengar suara ribut. Wanita setengah baya itu pun memberi laporan bahwa Asih setengah jam yang lalu mengajak Dini keluar rumah. Bisa jadi menitipkan Dini ke rumah kakek-neneknya karena sebentar kemudian Asih balik lagi dan tidak keluar-keluar rumah lagi. Laporan tetangga itu semakin membuat Maman khawatir. Maman pun mendobrak pintu rumahnya.
Ketika daun pintu berhasil dibuka, detik selanjutnya tubuh Maman terhuyung lemas. Bukan karena kehilangan keseimbangan akibat mendobrak pintu, melainkan karena melihat pemandangan yang terpampang di depan mukanya. Tubuh Asih sedikit berayun-ayun, menggantung pada seutas tali yang menjerat lehernya. Asih bunuh diri!
Maman menyeka air mata yang perlahan turun di pipinya. Tidak digubrisnya saran atau suruhan orang-orang di sekitarnya untuk menuntut pertanggungjawaban kepada orang-orang yang dianggap bersalah. Ada yang menyuruhnya menuntut pada majikan Asih yang di Arab, ada yang menyuruh Maman agar menuntut perusahaan pengerah tenaga kerja yang memberangkatkan Asih, dan ada pula yang mendukung Maman agar menuntut pemerintah karena tidak becus melindungi warganya sehingga diperlakukan sewenang-wenang. Maman menghargai simpati kerabat dan tetangganya itu, namun ia lebih memikirkan bagaimana caranya bisa memanfaatkan apa yang ia punya untuk masa depan Dini daripada menggunakan uangnya untuk mengurus hal-hal yang hasilnya pun belum pasti. Bukankah di negeri ini segala sesuatunya membutuhkan uang? Bukankah sudah jamak pula di negeri ini yang hitam jadi putih dan yang putih jadi hitam?
Maman terperenyak ketika pundaknya ditepuk perlahan oleh seseorang. Seorang bapak yang menepuk pundak Maman itu berkata bahwa jenazah Asih sebaiknya segera diberangkatkan. Maman mengangguk kuyu dan berjalan tertatih mengantarkan jenazah istrinya ke pemakaman, mengantarkannya pulang ke Sang Khalik. (*)